Masa Masa Awal Bahasa Indonesia
Tanggal lahir bahasa Indonesia adalah 2 Mei 1926 dan bulan bahasa jatuh pada bulan Mei.
Buku Masa-Masa Awal Bahasa Indonesia garapan Prof. Dr. KPH. H.E. Harimurti Kridalaksana menceritakan kita bagaimana proses kelahiran sebuah bahasa persatuan yang kita pakai di negara yang kita cintai ini. Dari buku kecil yang ia tulis ini Prof. Harimurti memberikan kita sebuah gagasan bagaimana sebuah bahasa bisa lahir dan menciptakan persatuan, dan bagaimana sebuah bahasa tersebut terbentuk ditinjau dari aspek ilmiah.
Prof. Harimurti yang merupakan Guru Besar Luar Biasa Universitas Indonesia bidang Linguistik, dalam buku ini menyatakan 2 Mei 1926 sebagai hari lahir bahasa Indonesia. Sebetulnya bukan Prof. Harimurti sendiri yang menyatakan, melainkan M. Tabrani yang menggagaskan. Untuk menjabarkan bagaimana 2 Mei 1926 dinyatakan sebagai hari lahir nya Bahasa Indonesia, kita harus mundur sedikit ke 2 tahun sebelum Naskah Sumpah Pemuda 1928 dirumuskan. Dalam buku ini, dengan mengurik buku bigorafi Mohammad Tabrani, Anak Nakal Banyak Akal (Aqua Press, 1979) Prof. Harimurti menceritakan proses disepakatinya nama bahasa Indonesia. Ketika mempersiapkan Kongres Pemuda I, M. Yamin menyiapkan pidato tertulis dengan judul “Hari Depan Bahasa-Bahasa Indonesia dan Kesusatraannya”.
Tiga anggota perumus kongres telah meneliti pidato Yamin tersebut sebelum diucapkan dalam sidang kongres, yakni Sanusi Pane, Djamaloedin, dan Tabrani. Dalam konsep pidato itu, Yamin menuliskan butir terakhir Sumpah Pemuda:
Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoenjoeng bahasa persatuan, Bahasa Melajoe.
Tabrani menolak nama bahasa Melayu sebagai nama bahasa persatuan. Yamin dan Tabrani pun berdebat keras. Sanusi, yang kemudian datang, mendukung Tabrani sehingga rapat menemui jalan buntu. Akhirnya mereka memutuskan bahwa keputusan terakhir ditunda sampai Kongres Pemuda Kedua pada 1928 dengan catatan ”Bahasa Melayu” diubah menjadi ”Bahasa Indonesia”. Dalam Kongres 1928, Soegondo Djojopoespito selaku Ketua Kong-res Pemuda Kedua tak lagi menyebut usul Yamin dalam rapat panitia, tapi langsung membawa resolusi yang telah diubah itu ke sidang umum dan diterima dengan suara bulat oleh Kongres. Resolusi itulah Sumpah Pemuda yang kita kenal sekarang.
Jadi, menurut Harimurti, Tabranilah yang pertama kali menyebut Bahasa Indonesia (dengan ”B”), bahasa nasional kita; bukan bahasa Indonesia (dengan ”b”), salah satu rumpun bahasa dalam keluarga bahasa Austronesia. Sebelum Tabrani, tak ada orang yang menyebut soal Bahasa Indonesia.
Penamaan ”Bahasa Indonesia” itu penting, kata Harimurti dalam bukunya, karena bahasa berwujud bukan semata lantaran sistem ujaran yang membentuk sistem makna, melainkan lebih karena sikap, persepsi, dan kesepakatan penuturnya. Dia mencontohkan bahasa Urdu, bahasa resmi Pakistan, dan bahasa Hindi, bahasa resmi India. Bila kedua penutur bahasa itu bertemu, mereka akan dapat berkomunikasi tanpa kesulitan, tapi tetap menyatakan keduanya bahasa yang berbeda. Untuk mengukuhkan identitas, bahasa Urdu diungkap dengan aksara Arab, sedangkan bahasa Hindi dengan aksara Dewanagari.
Puncaknya, 28 Oktober 1928 pada Kongres Pemuda di Jakarta, pemuda-pemuda Indonesia mengucapkan Sumpah Pemuda. Isi sumpah yang ketiga—berbahasa yang satu, bahasa Indonesia—telah memastikan kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan bangsa Indonesia. Pada kongres itu pula, nama bahasa Melayu diganti dengan bahasa Indonesia untuk pertama kalinya.
Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoeda Indonesia
Kerapatan pemoeda-pemoeda Indonesia diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia Jang berdasarkan kebangsaan dengan nama Jong Java, Jong Soematra (Pemoeda Soematra), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataks Bond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia, memboeka rapat pada tanggal 27 dan 28 Oktober tahoen 1928 di negeri Djakarta; sesoedahnja mendengar pidato-pidato pembitjaraan Jang diadakan didalam kerapatan tadi; sesoedahnja menimbang segala isi-isi pidato-pidato dan pembitjaraan ini, Kerapatan laloe mengambil kepoetoesan:
Pertama : KAMIPOETRA DANPOETRIINDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA;
Kedoea : KAMIPOETRA DANPOETRIJNDONESJA MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA;
Ketiga : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJOENDJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA.
Ketika Jepang datang ke Indonesia, mereka segera menghapus bahasa Belanda dan menggantikannya dengan bahasa Jepang. Terdesak oleh Perang Asia Timur Raya, Jepang yang berniat memakai tenaga bangsa Indonesia dalam perang terpaksa harus memakai bahasa Indonesia untuk berkomunikasi. Hal itu disebabkan karena bahasa Jepang belum dikuasai oleh sebagian besar rakyat Indonesia.
Akhirnya, pada tanggal 20 Oktober 1942, didirikanlah Komisi Bahasa Indonesia yang bertugas menentukan kata-kata umum bagi bangsa Indonesia. Kemudian, satu hari setelah kemerdekaan Indonesia, yaitu 18 Agustus 1945, bahasa Indonesia pun diresmikan sebagai bahasa nasional. Selanjutnya, bulan Oktober disebut sebagai bulan bahasa karena di bulan inilah bahasa Indonesia pertama kali dikumandangkan sebagai bahasa nasional dan bahasa pemersatu bangsa.
Jadi pada dasarnya bahasa Indonesia adalah keputusan politik suatu komunitas bernama bangsa Indonesia. Bila mau konsisten dengan sejarah, tanggal lahir bahasa Indonesia adalah 2 Mei 1926 dan bulan bahasa jatuh pada bulan Mei.
Kajian Ilmiah Tentang Masa Lampau Bahasa Indonesia
Proses terbentuknya bahasa Indonesia tidak dapat terlepas dari sejarah Indonesia, mulai dari masa masuknya Hindu sampai kemerdekaan Indonesia. Sutan Takdir Alisjahbana mengemukakan bahwa lingua franca di Indonesia memiliki kecenderungan mengikuti bahasa asing penguasa, yaitu bahasa Sansekerta pada masa Hindu-Budha, bahasa Arab pada masa Islam, bahasa Belanda pada masa penjajahan, dan bahasa Jepang pada masa pendudukan Jepang. Walaupun demikian, sebagian besar rakyat Indonesia lebih memilih menggunakan bahasa daerah mereka dalam pergaulan sehari-hari.
Sejak awal Masehi, lingua franca di Indonesia adalah bahasa Melayu. Namun, pemerintah kolonial Belanda membawa pengaruh dalam perkembangan bahasa Melayu sebagai lingua franca di Indonesia. Awalnya, bahasa Melayu disepakati sebagai bahasa pengantar di sekolah karena dinilai sebagai bahasa yang dipahami sebagian besar rakyat Indonesia. Munculnya politik etik yang berusaha memberikan pengetahuan barat kepada bangsa Indonesia mengharuskan penguasaan terhadap bahasa Belanda. Untuk itu, bahasa Belanda dijadikan mata pelajaran di sekolah rakyat. Lambat laun, bahasa Melayu mulai dianggap sebagai bahasa rendahan.
Tuntutan penguasaan bahasa Belanda semakin meningkat dari bangsa Indonesia. Hal itu bukan hanya karena pengetahuan barat yang mudah didapat apabila menguasai bahasa Belanda, tetapi juga menjadi syarat untuk menduduki jabatan penting di pemerintahan. Dari sinilah, munculnya kaum intelektual Indonesia yang menyadari hak untuk merdeka dan membentuk pemerintahan sendiri. Mereka membentuk organisasi-organisasi yang mengunakan bahasa Melayu agar dapat dipahami semua rakyat Indonesia. Kemudian, munculnya surat kabar dan majalah yang berbahasa Melayu sehingga menguatkan penggunaan bahasa Melayu di Indonesia.
Kenapa Bahasa Indonesia, Bukan Bahasa Melayu?
Pertama-tama, tentulah jawaban yang berlatarbelakangkan sejarah. Sudah sejak lama, entah kapan persisnya, Bahasa Melayu sudah menjadi bahasa perantara pelbagai kelompok masyarakat di Asia Tenggara ini, khususnya di wilayah yang kemudian menjadi negara Republik Indonesia
Kedua, alasan lain yang cukup masuk akal ialah bahwa Bahasa Melayu tersebar luasdi Asia Tenggara karena bahasa itu mudah dikuasai. Strukturnya sangat sederhana, kosakatanya bersifat terbuka, jadi siapa pun dapat mempelajarinya dalam waktu singkat secara mudah.
Ketiga, tentu saja faktor politik pendidikan penjajah Belanda menjadi sebab terpilihnya Bahasa Melayu yang kemudian menjadi Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Ketika Pemerintah Belanda berencana untuk menegakkan sistem pendidikan dasar bagi pribumi, mereka harus memecahkan persoalan bahasa yang harus digunakan sebagai bahasa pengantar.
Keempat, jawaban bagi pertanyaan, mengapa Bahasa Melayu yang dipilih, bukan Bahasa Belanda, bahasa penjajah pada masa itu. Perlu dicatat bahwa sejak dahulu pemerintah penjajah Belanda tidak pernah berusaha agar rakyatjajahannya mampu berbahasa Belanda.
Kelima, mengapa para perintis kemerdekaan dan peserta Kongres Pemuda itu tidak memilih Bahasa Jawa yang lebih banyak penuturnya menjadi bahasa persatuan, padahal mayoritas peserta itu (dan juga mayoritas penduduk negeri ini pada awal abad ke-20) adalah orang Jawa? Ada 2 jawaban: yang pertama bersifat emosional-sosial; yang kedua bersifat rasional. Orang Jawa pada hakekatnya secara sosial bersifat inklusif-empatik dan sangat menjaga perasaan orang lain. Para elite Jawa yang hadir dalam Kongres Pemuda 1926 dan 1928 pasti tidak mau menyinggung perasaan teman-teman suku lain dengan mengusulkan supaya Bahasa Jawa dijadikan bahasa persatuan karena sifat kejawaan itu.
Beberapa Bukti Evolusi Bahasa Indonesia Pada Masa Awal Bahasa Indonesia (1900-1940)
Sumber : Masa-Masa Awal Bahasa Indonesia - Harimurti Kridalaksana