Perjalanan Pembalasan Bagian I - Bandung

Dan akhirnya, telah datang waktunya. Waktu dimana raga menuruti apa kata jiwa yang selama ini dibelenggu oleh angan untuk menyelesaikan.

Pembuka.

Skripsi. Satu kata benda, berat dirasa. Seonggok momok yang ditakuti oleh hampir semua mahasiswa di Indonesia. Stop sampai sini. Kamu yang sedang membaca tulisan ini tidak takut dengan hal tersebut? atau telah melalu proses ini dengan lancar, dan menemukan tulisan ini terlalu berlebihan? Baiklah, berarti memang saya yang cukup pecundang untuk menghadapi hal ini. Kepecundangan saya dilandasi oleh satu hal. Kegagalan.

Perlu diketahui saya adalah mahasiswa tingkat akhir dari sebuah universitas swasta di Jakarta Barat yang menjunjung tinggi arti kejujuran. Meskipun mereka para penggerak roda yayasan tidak memaknai apa arti kejujuran yang sebenarnya (bagian ini akan saya tuangkan pada tulisan saya yang selanjutnya).

Bagaimanapun, saya telah mengambil mata kuliah skripsi dengan 6 satuan kredit semester pada semester 8 perkuliahan saya, namun saya gagal, dan saya kembali mengambil matakuliah skripsi 6 satuan kredit tersebut pada semester 9 perkuliahan saya. Sampai dengan penulisan ini ditulis, saya telah berhasil menyelesaikan dan mengumpulkan skripsi saya tepat waktu, dan hanya tinggal menunggu waktu untuk mempertahankan argumen penulisan 5 BAB saya didepan beberapa dosen penguji.

Dengan berjalan seorang diri, perjalanan tentang pembalasan akan waktu yang telah terbuang oleh raga yang telah berjuang demi angan untuk menyelesaikan, dimulai.

-teruntuk raga, dari jiwa yang merindukan tenang.

Bandung.

25 Januari 2018

Kota yang sama sekali indah. Di Bandung saya menghabiskan waktu selama 4 hari. Waktu yang cukup untuk menikmati suatu kota. Perjalanan dimulai dari Jakarta dengan bermodal 4 kaos, 2 celana pendek, 4 celana dalam, 2 celana panjang, 1 kamera DSLR, 1 tripod, 2 buku, dan semuanya dikemas dalam Deuter Futura 28 liter yang akan menjadi bagian dari hidup saya dalam beberapa hari kedepan. Saya mulai perjalan ini dengan meminta restu dan ridho dari kedua orang tua demi perjalanan yang diberkahi oleh mereka, “Umi, Abi.. Akmal pamit. Akmal jalan dulu”, saya memulai. Bus MGI jurusan Cimahi siang itu menjadi jodoh saya, langkah saya menuju kedalam kendaraan yang akan membawa saya memulai perjalanan pembalasan ini. Saya merasa beruntung sekaligus sangat sedih pada saat saya menaiki bus tersebut, karena tidak ada seorangpun penumpang didalamnya, terlebih bus MGI ini tidak ngetem, bus ini akan tetap melaju ke tujuannya sekalipun tidak ada penumpang, jadi pada saat itu saya adalah satu-satunya penumpang yang akan menuju tujuan. Beruntung, karena satu isi bus beserta supir dan kondekturnya terasa milik saya, sedih karena saya sendiri dalam melakukan perjalanan ini dan tidak ada teman berbincang selain supir dan kondektur bus.

img

Perjalanan ini akan memakan waktu yang panjang, pikir saya ketika saya melihat keluar jendela dan mendapati apa yang saya lihat ketika sesampainya di simpang susun Cikunir. Simpang Cikunir adalah pusat pertemuan arus dari Cawang-Halim, Cilincing, Bekasi, dan Kampung Rambutan. Disini ke-empat arus bertemu untuk mengambil perputaran arah. Semua terlewati, perjalanan dari Terminal Kampung Rambutan sampai dengan Bekasi Barat melalui simpang Cikunir memakan waktu 2 jam tersendiri yang mana bila dibandingkan apabila lau lintas lancar, dari Terminal Kampung Rambutan sampai dengan Pasteur, Bandung dapat ditempuh hanya dengan waktu 2,5 jam. Sebuah kepadatan lalu lintas yang luar biasa hari itu. Sampai akhirnya saya tiba di Terminal Bandung Kota, Terminal Leuwi Panjang pada pukul 18.30 dengan memakan waktu total 4 jam perjalanan dari Terminal Kampung Rambutan.

“Mas, nasi goreng pedes satu.” teriak saya pada penjual nasi goreng didepan Terminal Leuwi Panjang yang tidak seharusnya dipanggil mas. Sesampainya di Terminal Leuwi Panjang saya mengisi perut sembari ber-aklimitisasi dengan suasana kota Bandung yang sejuknya menusuk hingga kedalam kenangan masa lalu, dalam. Begitu intimnya saya berkencan dengan diri saya sendiri dalam perjalanan ini, padahal perjalanan baru saja dimulai, saya begitu menikmati perjalanan ini. Malam itu sejuk, romantis, hening, sunyi ketika saya memotret keramaian yang berada di Masjid Raya Bandung. Terkadang saya merasa heran, kenapa Bandung seketika menjadi se-eksotis ini, apakah saya yang merasa kurang bersyukur sebagai warga keturuan asli Jakarta atau apakah saya begitu menikmati perjalanan ini? entahlah saya hanya dapat mengenang kembali kedalam momen itu ketika saya menghentakkan jemari saya pada keyboard ini.

Product Manager & Life Conoisseurs

Saya adalah masyarakat penikmat internet yang biasa aja, mencoba untuk menapaki dunia tulis-menulis. blog ini dibuat murni untuk menyalurkan hasrat pribadi. (Disclaimer) beberapa konten mungkin bisa dari berbagai sumber.

comments powered by Disqus

Related